Beranda | Artikel
Bentuk Penjagaan Ilmu Syari Dalam Berpakaian - Syaikh Abdussalam asy-Syuwaiir #NasehatUlama
Senin, 24 Mei 2021

Bentuk Penjagaan Ilmu Syar’i Dalam Berpakaian – Syaikh Abdussalam asy-Syuwai’ir #NasehatUlama

Diantara hal-hal yang berkaitan dengan penjagaan terhadap ilmu dalam hal penampilan dan adab adalah menjaga pakaian. Dan para ulama masih saja membahas masalah pakaian dan mereka memiliki penjelasan yang panjang yang kesimpulannya adalah sebagai berikut, Yang pertama, bahwa para ulama berkata; “Seorang penuntut ilmu wajib untuk tidak mengenakan pakaian syuhrah. ”

Dan telah sampai kepada kita riwayat dari al-Baihaqi bahwa sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dua jenis pakaian, salah satu dari dua pakaian ini adalah pakaian syuhrah.
Pakaian syuhroh yaitu pakaian yang dengannya seseorang menjadi tenar di tengah manusia, mencolok dan berbeda daripada yang lain seolah-olah dia berkata kepada manusia, “Aku di sini, lihatlah aku!”
Ini disebut dengan pakaian syuhrah dan ini ada di tengah manusia, jika dia mengenakan pakaian ini muncul dalam dirinya sifat takjub kepada diri sendiri,
timbul dalam dirinya sifat mengagungkan diri sendiri karena orang-orang melihat ke arahnya dan takjub dengannya.

Namun sebaliknya, para ulama memiliki pakaian khusus, para ulama memiliki ciri khas dalam pakaian.
Oleh sebab itu, Ibnu Abdussalam at-Tunisi pernah berkata, dan beliau bukan Izzudin bin Abdussalam, Ibnu Abdussalam at-Tunisi menulis sebuah kitab penjelasan yang bagus atas kitab al-Mukhtashar karya Ibnu Arafah.
Dan dia bermazhab Maliki sedangkan Ibnu Abdussalam bermazhab Syafi’i, beliau dikenal dengan Abu Muhammad Izzudin bin Abdussalam, pengarang kitab al-Ghayah dan kitab-kitab lain.

Ibnu Abdussalam al-Maliki pengarang kitab penjelasan Mukhtasar Ibnu Arafah berkata; “Aku pernah berhaji kemudian aku mengingkari perbuatan beberapa haji dari Maroko,-karena beliau dari Tunisia- “Aku mengingkari mereka dalam beberapa persoalan namun mereka tidak terima karena aku masih mengenakan pakaian ihram.”
“Kemudian ketika aku mengenakan pakaian khas ulama yang biasa dipakai orang Maroko setelah aku selesai tahallul dari ihram, aku ingkari lagi perbuatan mereka yang tadi aku ingkari dan mereka menerima perkataanku.”
Jadi, ulama memiliki pakaian khas yang dengannya mereka dikenal dan cara berpakaian yang dengannya mereka diketahui. Awal dari cara berpakaian ini adalah cara berpakaian sesuai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pakaian ulama harus tidak isbal. Karena isbal adalah perkara yang terlarang, sehingga pakaian khas ulama tidak boleh menjulur melebihi mata kaki.
Sebagian ulama berkata; “Tidak boleh juga isbal pada pergelangan tangan.” Karena panjangnya lengan baju melebihi pergelangan tangan dilarang oleh sebagian ulama dan ini adalah pendapat terkenal dalam mazhab Ahmad.
Oleh sebab itu, di sebagian negeri, mereka mengenakan lengan baju yang lebar, kemudian sebagian ulama memfatwakan bahwa itu terlarang dan merupakan perbuatan berlebih-lebihan karena tidak diperlukan.
Sehingga termasuk dalam perbuatan isbal pada pergelangan tangan sehingga para ulama kemudian meninggalkan pakaian dengan lengan tangan yang panjang ini, yang sampai sekarang kita masih menyebutnya dengan baju ‘Murudana’.

Hal ini difatwakan oleh syeikh Muhammad bin Ibrahim dan kemudian orang-orang meninggalkan pakaian ini.
Jadi, para ulama dikenal dengan pakaian tertentu dalam penampilan mereka dan tanda pertamanya adalah bersesuaian dengan sunah. Karena bagaimana mungkin seseorang yang mengemban ilmu namun pakaiannya tidak sesuai sunah, penampilan ini tidak menunjukkan keilmuan sama sekali.
Namun, sebagaimana telah saya jelaskan pada kalian di awal, bahwa terkadang sebagian sunah boleh ditinggalkan untuk suatu maslahat.

Telah saya sebutkan tiga kaidah ini di awal pembahasan saya, bahwa sebagian sunah terkadang ditinggalkan untuk suatu maslahat, sebagaimana diriwayatkan…. atau diantara contohnya adalah apa yang diriwayatkan oleh Ya’kub bin Sufyan al-Fasawi dalam kitab at-Tarikh, bahwa Ayub as-Sikhtiyani, guru imam Malik, berkata; “Dulu tasymir adalah sunah namun di zaman kita berubah menjadi pakaian syuhrah.” Guru imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- yang mengucapkan perkataan ini.

Maka terkadang sebagian sunah ditinggalkan seperti tasymir yaitu kain yang diangkat sampai separuh betis, ini adalah sunah. Namun ini terkadang ditinggalkan oleh sebagian orang dalam beberapa keadaan, dan bukan dalam semua keadaan, untuk suatu maslahat tertentu.

Adapun yang terjulur di bawah mata kaki, sebagaimana kalian ketahui, para muhaqiq dari kalangan ulama berpendapat haramnya hal tersebut jika dimaksudkan untuk kesombongan. Maka itu haram bahkan mereka menganggap bahwa hal tersebut termasuk dosa besar karena adanya ancaman bagi para pelakunya.

Jadi, maksud dari pembahasan ini adalah tanda pertama yang harus ditunjukkan seorang penuntut dalam pakaiannya adalah sesuai dengan sunah. Dan ini adalah beberapa hal-hal penting yang harus dia perhatikan, cara berpakaiannya, pakaiannya, seluruh penampilan fisiknya dan sikap-sikapnya serta segala sesuatu yang berkaitan dengan zahirnya yang dilihat oleh manusia.

Dan masalah kedua yang berhubungan dengan pakaian seorang penuntut ilmu, sebenarnya pembahasan ini panjang namun aku persingkat dengan membahas bagian ini, bahwa pakaian khas seorang ulama dikenakan ketika sedang berbicara tentang ilmu, ketika mengajarkan ilmu dan ketika seseorang tampil di majelis ilmu.

Dan adat telah berlaku pada setiap negeri bahwa setiap negeri memiliki pakaian khusus ulama, bagi sebagian manusia pakaian khas untuk para ulama adalah pada sorbannya, pakaian khas mereka adalah sorban-sorban mereka, dan bagi sebagian orang pakaian khas ulama adalah selendang mereka, misalkan gamis dan lain sebagainya.

Dan bagi sebagian orang pakaian khas ulama mereka adalah pada kemeja mereka, sehingga Anda dapati di beberapa daerah seorang ahli fikih dan ulama ketika ingin berceramah menggunakan beberapa jenis pakaian berupa kemeja.

Maka ketika mengajarkan ilmu pada manusia kenakanlah pakaian ulama dan adapun dalam momen pribadi ketika tidak sedang mengajar, penampilan semacam ini di hadapan manusia mungkin bisa memunculkan sifat takjub dalam diri sendiri.

Jadi, pakaian ulama yang dengannya mereka dikenal dikenakan ketika sedang mengajarkan ilmu pada manusia agar orang-orang tahu bahwa ini adalah ilmu, bahwa ini adalah pengajarnya dan inilah penampilannya. Dan ini merupakan pembahasan yang sudah lama sekali ada dan pembahasan ini dahulu sudah pernah aku sampaikan dalam sebuah kajian yang berhubungan dengan pakaian para ulama, dan pendapat syeikh Taqiyuddin tentang apakah hal tersebut sesuai dengan tempatnya atau tidak, yang berkaitan dengan pemilihnya.

Dan tentu pembahasan ini sudah dibahas sejak dahulu oleh para ulama, Imam Malik -semoga Allah merahmati beliau- berkata; “Aku tidak akan memberikan fatwa hingga tujuh puluh orang yang bersorban bersaksi bahwa aku adalah seorang mufti.” Dan Ibnu Nasruddin berkata; “Dan tidaklah orang-orang bersorban pada zaman itu kecuali mereka adalah ahli fikih.”

Dan itu merupakan pakaian khas para ulama di masa-masa awal.

==============================

 

مِنَ الْأُمُورِ الْمُتَعَلِّقَةِ أَيْضًا بِصِيَانَةِ الْعِلْمِ فِي الْهَيْئَةِ وَالْأَدَبِ صِيَانَتُهُ فِي اللِّبَاسِ

وَمَا زَالَ أَهْلُ الْعِلْمِ يَتَكَلَّمُونَ عَنِ اللِّبَاسِ وَلَهُمْ كَلَاَمٌ طَوِيلٌ مُحَصَّلُهُ مَا يَلِي

الْأَمْرُ الْأَوَّلُ أَنَّ الْعُلَمَاءَ يَقُولُونَ إِنَّ الطَّالِبَ الْعِلْمِ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَلْبِسَ لِبَاسَ الشُّهْرَةِ

وَقَدْ رُوِيْنَا عِنْدَ الْبَيْهَقِيْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ نَهَى عَنْ لِبْسَتَيْنِ إحْدَى هَاتَيْنِ اللِّبْسَتَيْنِ هُوَ لِبَاسُ الشُّهْرَةِ

الَّذِيْ يَكُونُ الْمَرْءُ بِهِ مُشْتَهِرًا عَنِ النَّاسِ مُمَيِّزًا لَهُمْ مُغَايِرًا فَكَأَنَّهُ يَقُولُ لِلنَّاسِ أَنَا هُنَا فَانْظُرُوْنِيْ

هَذَا يُسَمَّى لِبَاسُ الشُّهْرَةِ وَهَذَا مَوْجُودٌ عِنْدَ بَعْضِ النَّاسِ فَإِذَا لَبِسَ هَذَا اللِّبَاسَ وَقَعَ فِي نَفْسِهِ مِنَ الْعُجْبِ بِنَفْسِهِ

وَوَقَعَ فِي نَفْسِهِ مِنْ تَعْظِيمِ ذَاتِهِ إِذِ النَّاسُ يَنْظُرُونَ لَهُ بِهَيْئَةِ الْإِقْبَالِ وَالْإِعْجَابِ

فِي الْمُقَابِلِ أَنَّهُ لِأَهْلِ الْعِلْمِ زِيٌّ يَخُصُّهُمْ لِأَهْلِ الْعِلْمِ زِيٌّ يَخُصُّهُمْ

وَلِذَا قَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ التُّوْنِسِيّ وَهُوَ غَيْرُ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ فَإِنَّ لِابْنِ عَبْدِ السَّلَامِ التُّوْنِسِيِّ شَرْحَ الْمُخْتَصَرِ لاِبْنِ عَرَفَةَ شَرحًا نَفِيْسًا

وَهُوَ مَالِكِيُّ بَيْنَمَا ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ الشَّافِعِيُّ مَعْرُوفٌ هُوَ أَبُو مُحَمَّدٍ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلَّامِ هُوَ صَاحِبُ الْغَايَةِ وَغَيْرِهَا مِنَ الْكُتُبِ

ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ الْمَالِكِيّ صَاحِبُ شَرْحِ مُخْتَصَرِ ابْنِ عَرْفَةَ يَقُولُ كُنْتُ حَاجًّا فَأَنْكَرتُ عَلَى بَعْضِ الْحَجِيْجِ الْمَغَارِبَةِ

لِأَنَّهُ مِنْ… مِنْ تُونِس فَأَنْكَرتُ عَلَيْهِمْ بَعْضَ الْمَسَائِلِ فَلَمْ يَقْبَلُوْا مِنِّي لِأَنَّنِي كُنْتُ لَابِسًا لِلْإِحْرَامِ

فَلَمَّا لَبِسْتُ زِيَّ الْعُلَمَاءِ الَّذِي لَبِسَهُ الْمَغَارِبَةُ حِيْنَمَا تَحَلَّلْتُ مِنَ الْإِحْرَامِ أَنْكَرتُ عَلَيْهِمْ مَا أَنْكَرتُهُ قَبْلَ ذَلِكَ فَقَبِلُوْا بَعْدَ ذَلِكَ

إِذَنْ لِأَهْلِ الْعِلْمِ زِيٌّ يُعْرَفُونَ بِهِ وَهَيْئَةٌ يُعْرَفُونَ بِهَا

أَوَّلُ هَذِهِ الْهَيْئَةِ هَيْئَةُ لُبْسِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَإِنَّ زِيَّ الْعُلَمَاءِ لَا إِسْبَالَ فِيهِ

إِذِ الْإِسْبَالُ مَنْهِيٌّ عَنْهُ، زِيُّ الْعُلَمَاءِ لَا إِسْبِالَ فِيهِ… فِيهِ مِنْ حَيْثُ الْكَعْبِ

بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ لَا إِسْبَالَ فِيهِ مِنْ حَيْثُ الْكُمِّ فَإِنَّ طُولَ الْكُمِّ كَانَ بَعْضُ أهْلِ الْعِلْمِ يَنْهَى عَنْهُ وَهُوَ مَشْهُورُ مَذْهَبِ أَحْمَدَ

وَلِذَا كَانَ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ كَانُوا يَلْبِسُونَ الْأَكْمَامَ الْوَسِيْعَةَ فَأَفْتَى بَعْضُ الْمَشَايِخِ بِأَنَّ هَذَا لَا يَجُوزُ وَ أَنَّهُ مِنَ الْإِسْرَافِ حَيْثُ لَا حَاجَةَ لَهُ

فَيَدْخُلُ فِي الْإِسْبَالِ فِي الْكُمِّ فَتَرَكَ أَهْلُ الْعِلْمِ بَعْدَ ذَلِكَ ذَاتَ الْأَكْمَامِ الْوَسِيعَةِ

الَّذِي كُنَّا نُسَمِّيْهِ إِلَى عَيْنٍ قَرِيْبٍ بِثِيَابِ الْمُرُوْدَن

أَفْتَى بِذَلِكَ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ إِبْرَاهِيْمُ فَتَركَهَا النَّاسُ بَعْدَ ذَلِكَ

إِذَنْ أهْلُ الْعِلْمِ مَعْرُوفُونَ بِزِيٍّ مُعَيَّنٍ فِي لُبْسِهِمْ أَوَّلُ عَلَامَاتِهِ أَنَّهُ عَلَى السُّنَّةِ

إِذْ كَيْفَ يَكُونُ الْمَرْءُ حَامِلًا لِلْعِلْمِ وَيَكُونُ زِيُّهُ عَلَى غَيْرِ السُّنَّةِ هَذَا لَيْسَ مِنْ هَيْئَةِ الْعِلْمِ فِي شَيْءٍ

لَكِنْ كَمَا ذَكَرتُ لَكُمْ ابْتِدَاءً أَنَّهُ قَدْ تُتْرَكُ بَعْضُ السُّنَّةِ لِلْمَصْلَحَةِ

ذَكَرتُ هَذِهِ قَوَاعِدَ الثَّلَاثِ فِي أَوَّلِ كَلَاَمِيْ تُتْرَكُ بَعْضُ السُّنَنِ لِلْمَصْلَحَةِ

كَمَا رَوَى ذَلِكَ… كَمَا… مِنْ أَمْثِلَةِ ذَلِكَ مَا رَوَى يَعْقُوبُ بْنُ سُفْيَانَ الْفَسَوِي فِي كِتَابِهِ التَّارِيخُ

أَنَّ أَيُّوبَ السِّخْتِيَانِي شَيْخَ الْإمَامِ مَالَكٍ قَالَ كَانَ التَّشْمِيْرُ سُنَّةً فَأَصْبَحَ فِي زَمَانِنَا شُهْرَةً شَيْخُ الْإمَامِ مَالِكٍ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ يَقُولُ هَذَا الْكَلَامَ

فَأَحْيَانًا قَدْ تُتْرَكُ بَعْضُ السُّنَنِ كَالتَّشْمِيرِ وَهُوَ إِذِ الثَّوْبُ أَنْ يَكُونَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ هَذَا السُّنَّةِ

قَدْ يَتْرُكُهُ بَعْضُ النَّاسِ فِي بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَلَيْسَ مُطْلَقًا لِمَصْلَحَةٍ مُعَيَّنَةٍ

وَأَمَّا مَا تَحْتَ الْكَعْبِ كَمَا تَعْلَمُونَ عِنْدَ الْمُحَقِّقِينَ مِنَ الْعُلَمَاءِ أَنَّهُ حَرَامٌ إِذَا كَانَ بِقَصْدِ الخُيَلَاءِ

فَهُوَ حَرَامٌ بَلْ هُوَ عِنْدَهُمْ مَعْدُودٌ مِنَ الْكَبَائِرِ لِتَرْتِيبِ الْوَعِيدِ عَلَيْهِ

فَالْمَقْصُودُ مِنْ هَذَا الْكَلَامِ أَنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ أَوَّلُ عَلَامَاتِ زِيِّهِ أَنْ يَكُونَ عَلَى السُّنَّةِ

وَهَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْمُهِمَّةِ الَّتِي يَجِبُ أَنْ يَنْتَبِهَ لَهَا هَيْئَتُهُ وَلِبَاسُهُ

وَسَائِرُ هَيْئَتِهِ فِي أَظْهَارِهِ وَشُعُورِهِ وَسَائِرِ الْأُمُورِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِظَاهِرِهِ الَّذِي يَنْظُرُ النَّاسُ إِلَيْهِ

الأَمْرُ الثَّانِي الَّذِي يَتَعَلَّقُ بِلِبَاسِ طَالِبِ الْعِلْمِ فَإِنَّ الْحَدِيثَ طَوِيلٌ لَكِنَّ سَأَخْتَصِرُ بِهَذِهِ الْجُزْئِيَّةِ

أَنَّهُ يَكُونُ مِنْ زِيِّ الْعُلَمَاءِ عِنْدَ الْكَلَامِ فِي الْعِلْمِ، فَعِنْدَ الْكَلَامِ فِي الْعِلْمِ وَعِنْدَمَا يَتَصَدَّرُ الْمَرْءُ فِي الْمَجْلِسِ

فَقَدْ جَرَتِ الْعَادَةُ فِي كُلِّ بَلَدٍ أَنَّ لَهُمْ لِبَاسًا لِأَهْلِ الْعِلْمِ

فَبَعْضُ النَّاسِ يَكُونُ لِبَاسُهُمْ فِي عَمَائِمِهِمْ لِأهْلِ الْعِلْمِ لِبَاسُهُمْ فِي عَمَائِمِهِمْ

وَبَعْضُ النَّاسِ لِبَاسُهُمْ فِي أَرْدِيَّتِهِمْ كَالْعَبَاءَةِ وَنَحوِهَا

وَبَعْضُ النَّاسِ لِبَاسُهُمْ فِي قُمُصِهِمْ فَتَجِدُ فِي بَعْضِ الْبُلْدَانِ الْفَقِيهَ وَالْعَالِمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَتَكَلَّمَ لَبِسَ بَعْضَ أَنْوَاعِ اللِّبَاسِ الَّذِي يَكُونُ فِي الْقَمِيصِ

فَعِنْدَ تَعْلِيمِ النَّاسِ الْعِلْمَ تَلْبَسُ هَيْئَةَ أهْلِ الْعِلْمِ وَأَمَّا فِي خَاصَّتِكَ حَيْثُ لَا يَكُونُ هُنَاكَ تَعْلِيمٌ فَإِنَّهُ رُبَّمَا كَانَ هَذَا الْإِظْهَارُ أَمَامَ النَّاسِ قَدْ يَكُونُ فِيهِ يَعْنِي نَوْعٌ لِحَظِّ النَّفْسِ

إِذَنْ زِيُّ الْعُلَمَاءِ الَّذِي يُعْرَفُونَ بِهِ يَكُونُ عِنْدَ تَعْلِيمِ النَّاسِ الْعِلْمَ لِكَيْ يُعْرَفُ الْعِلْمُ، يَعْرِفُ النَّاسُ أَنَّ هَذَا هُوَ الْمُعَلِّمُ

وَأَنَّ هَذِهِ هَيْئَتُهُ وَهَذَا مَسْأَلَةٌ قَدِيمَةٌ جِدًّا وَالْحَديثُ سَبَقَ أَنْ أُلْقِيَ فِيهَا مُحَاضَرَةٌ كَانَتْ تَتَعَلَّقُ بِزِيِّ الْعُلَمَاءِ

وَكَلَامُ الشَّيْخِ تَقِيِّ الدِّينِ هَلْ هُوَ فِي مَحَلِّهِ أَمْ لاَ يَتَعَلَّقُ بِالْاِخْتِيَارَاتِ

طَبْعًا هَذَا الْكَلَاَمُ قَدِيمٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ فَقَدْ ذَكَرَ الْإمَامُ مَالِكٌ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ أَنَّهُ قَالَ لَمْ أُفْتِ حَتَّى شَهِدَ لِي سَبْعُونَ مُعَمَّمًا أَنِّي أَهْلُ الْفَتْوَى

وَقَالَ ابْنُ نَصْرِ الدِّينِ وَلَمْ يَكُنْ يَتَعَمَّمُ فِي ذَلِكَ الزَّمَانِ إِلَّا فَقِيهٌ

فَكَانَ مِنْ زِيِّ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي الزَّمَانِ الْأَوَّلِ


Artikel asli: https://nasehat.net/bentuk-penjagaan-ilmu-syari-dalam-berpakaian-syaikh-abdussalam-asy-syuwaiir-nasehatulama/